Kamis, 04 Agustus 2011

Indonesia Serius Garap N-219

Desakan kebutuhan pesawat perintis dari berbagai daerah mendorong Pemerintah untuk segera membuat N-219. Di tangan PT DI, pengganti DHC-6 Twin Otter ini akan dibangun berdasarkan teknologi tahun 1990-an. Dengan konsep pesawat sederhana yang mudah ditangani,  harganya akan dibuat “miring”. Cuma 3,8 juta dollar AS per unit.

            Kabar tentang rencana pembuatan N-219 -- komuter 19 kursi rancangan PT DI untuk alat transportasi strategis untuk daerah terpencil ini -- sendiri sudah merebak sejak 2007. Beberapa kali terdengar senter, tetapi berkali-kali itu pula meredup kembali. Dalam acara launching Hari Kebangkitan Teknologi Nasional ke-16, pertengahan Juli lalu di Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta, isu pembuatan N-219 kembali dihidupkan. Benarkah akan dibuat?
Konsep N-219 rancangan PT DI. (Ilustrasi: DI)
Tak kurang dari Kepala BPPT Marzan Azis Iskandar menyatakan serius. Anggukan kepalanya menguatkan dukungan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional yang telah membangun Pusat Teknologi Penerbangan di Rumpin, Tangerang, Banten. Diam-diam, beberapa lembaga riset negara rupanya sudah berkolaborasi mempertajam konsep dan rancangan pesawat ini.
“Terakhir kami sudah menyelesaikan uji wind-tunnel untuk aspek aerodinamika dan gertaran terhadap model N-219 yang diserahkan PT Dirgantara Indonesia. Hasilnya bagus. Secara konsep, siap untuk diproduksi,” simpul Marzan Iskandar kepada Angkasa.
Ia menambahkan, keseriusan pemerintah juga bisa disimak dari kesediaan Kementerian Perindustrian untuk ikut mendanai proyek ini. Besarnya kebutuhan yang dilontarkan dari berbagai pemerintah daerah juga ikut memuluskan proyek ini. Kementerian Perindustrian kabarnya akan menyisihkan anggaran APBN sebesar Rp 300 miliar untuk biaya awal pembuatan. Dari hasil kunjungan kerja ke berbagai provinsi, tim Kementerian Perindustrian, BPPT dan DI setidaknya telah mencatat kebutuhan hingga 90 unit.
Kebutuhan tersebut dinilai nyata karena disusun berdasarkan target percepatan ekonomi daerah, sarana perhubungan darat-laut yang masih terbatas, serta ketersediaan lapangan terbang yang belum memadai. Karena kebanyakan lapangan terbang di daerah tidak panjang dan belum beraspal, N-219 dinyatakan tepat. Kualifikasi pesawat ini rupanya dirancang mirip DHC-6 Twin Otter, spesialis rute perintis yang apa mau dikata populasinya di Indonesia sudah menurun akibat faktor usia.
Pada kesempatan terpisah, kepada Angkasa, Direktur Aerostructure DI, Dr Andi Alisjahbana menyatakan, bahwa dana dari Kementerian Perindustrian utamanya akan digunakan untuk membiayai fase awal industri. Dana sebesar Rp 300 miliar itu akan dipakai untuk pembuatan  jigs (cetakan metal struktur pesawat), tools (peralatan untuk merakit pesawat), dan tiga prototip pesawat. Selain itu, uang yang dikeluarkan untuk membeli empat mesin pesawat dan biaya sertifikasi.

Mengikuti ketersediaan komponen
Berbeda dengan CN-235 dan N-250, biaya pembuatan N-219 dibuat minimalis. Hal ini dimungkinkan karena DI tak perlu lagi membangun hanggar produksi. Pihaknya akan menggunakan hanggar yang sudah ada. Selain itu, karena konsep dasarnya adalah pesawat sederhana yang mudah ditangani, N-219 tak “menuntut” komponen dengan klasifikasi khusus, yang pasti akan membuatnya jadi lebih mahal.
Andi mengungkap, pengalaman belanja komponen khusus sarat terjadi dalam pembuatan CN-235 dan N-250. Dari kedua pesawat, DI akhirnya belajar bahwa jika pembuatan pesawat harus melalui proses pengembangan system requirement yang melibatkan perusahaan penyedia komponen pesawat (vendor), harga produk akan jatuh lebih mahal dan penggunanya akan didera kesulitan mencari suku-cadang. Pasalnya, komponen-komponen tersebut harus dibeli dengan pesanan khusus pula.
Nah, untuk N-219 prosesnya dibalik. Desain mengikuti komponen yang sudah ada dan banyak di pasaran. Untuk mesin, misalnya, jika awalnya perlu yang berkekuatan 700 hp, tapi di pasaran hanya ada yang 600 dan 800 hp, ya kami pilih yang 800 hp,” ujarnya. ”Selain itu, kami juga akan memperbanyak local content agar harga bisa ditekan. Landing-gear, misalnya, akan dibuat di dalam negeri.”
Oleh karena dimensi dan kapasitasnya yang tidak besar, N-219 juga tak perlu sistem pendukung kemudi khusus, seperti fly-by-wire. Ini lagi-lagi akan ikut menekan harga jual. Sedemikian sederhananya, tandas Andi, bagian utama N-219 praktis hanya terdiri dari airframe, mesin, dan avionik. Kalau pun ada yang agak spesial, itu paling lah motor elektrik -- penggerak nose wheel dan flaps.
Meski sederhana, DI tetap mengedepankan teknologi terbaru. Jika CN-235 dan NC-212 dibangun  menurut teknologi 1960-an, N-219 sudah menerapkan teknologi 1990-an. Kesan hi-tech akan tampak di ruang kemudi yang serba glass-cockpit. Ini pun dipilih untuk gaya-gayaan, tetapi karena harganya kini sudah sangat murah.
Jadi, total jenderal seberapa murahkah N-219? Jika harga pesawat-pesawat sekelasnya adalah sekitar 4,5 juta dollar AS, pesawat bermesin dua yang mampu mendarat di landasan rumput yang sepanjang 600 meter ini, diharapkan hanya dibandrol 3,8 juta dollar atau sekitar Rp 34 miliar.
Bagi DI, ikut turun-tangannya Kementerian Perindustrian adalah kebijakan Pemerintah yang melegakan semua pihak. Pasalnya, selama bertahun-tahun konsep N-219 selalu mentah di atas meja gara-gara tak diberi anggaran. Jika izin penggunaan dana itu turun sesuai harapan, yakni pada 2012, tahun itu juga program segera dikerjakan. Alhasil, berbagai daerah terpencil akan segera memiliki alat transportasi yang bisa mempercepat roda perekonomian, sementara di pihak DI: ratusan insinyur akan kembali memiliki wahana riset untuk mengasah keahlian.
Di luar itu, kalau pun ada tantangan yang akan jadi PR ke depan adalah bagaimana cara mencari dana talangan untuk membuat puluhan pesawat yang sudah kadung dipesan. ”Untuk 20 unit pesanan Merpati Nusantara untuk 2015-2016, misalnya. Kita tahu sendiri seperti apa kondisi keuangan operator pesawat perintis terbesar ini. Cepat atau lambat memang akan ketemu problem finansial,” ujar sebuah sumber.
”Namun, jika Indonesia mau maju, jangan jadikan problem seperti itu sebagai rintangan. Sebaliknya, jadi kan sebagai tahapan yang harus diperjuangkan,” tambahnya. (adr)

Rabu, 03 Agustus 2011

Bangkitlah Indonesiaku!


Anda boleh jadi memiliki pandangan yang sama dengan kami setelah membaca edisi kali ini. Yakni, bahwa Indonesia nyatanya tidak “seburuk” yang digambarkan media massa sejuah ini. Sebagaimana kita simak di koran dan televisi nasional, paling tidak setahun terakhir ini, yang bisa kita lihat hanyalah demo, pertikaian elit politik, kerusuhan, korupsi dan tindak kriminal. Kemana wajah Indonesia yang sedang membangun? Tidak adakah?
          Dalam edisi kali ini, kita setidaknya bisa melihat Indonesia dari perspektif yang berbeda. Ada geliat lain jika kita menyimak detail launching Hari Kebangkitan Teknologi Nasional, 14 Juli lalu di Jakarta. Di antaranya adalah keseriusan negeri ini untuk menggarap pesawat rancangan sendiri, yakni N-219. Pesawat yang dirancang khusus untuk mendukung percepatan roda perekonomian di daerah ini memang telah berkali-kali mandeg di atas meja karena ketiadaan biaya. Namun, belum lama ini “nasibnya” tiba-tiba membaik setelah Kementerian Perindustrian menyatakan siap menggelontorkan dana sekitar Rp 300 miliar untuk insiasi pembuatannya.
          Uluran tangan Kementerian Perindustrian tentu bukanlah akhir dari seluruh permasalahan. Namun demikian, berita baik seperti itu nyatanya bukanlah bahan liputan yang menarik bagi wartawan nasional saat ini. Mungkin karena masih memegang teguh slogan “A Bad News is a Good News”, para kuli tinta masih lebih suka mengejar berita-berita yang amat menyiksa pikiran. Padahal tanpa disuguhi berita seperti itu pun sebagian besar dari kita sudah sangat menderita dengan harga barang dan kesulitan lain yang kian menjerat leher.
          Pers Indonesia, sayangnya, juga enggan mem-blow-up kunjungan Direktur Utama Airbus Military ke Indonesia, yang secara khusus ingin membantu PT Dirgantara Indonesia untuk bangkit. Di negara-negara maju seperti di Eropa dan Amerika, kini pabrik pesawat terbang adalah mesin penghasil uang yang luar biasa. Itikad dan uluran tangan Airbus mestinya terkait dengan kesuksesan yang tengah mereka raih. Mereka sepertinya tak ingin membiarkan DI, yang dahulu pernah menjadi mitra erat, tenggelam sendirian.
          Bagaimana pun kita memang tak bisa mengingkari kesusahan yang telah melanda Ibu Pertiwi. Hanya kini pertanyaannya, apakah kita ingin terus terpuruk? Tak bisakah kita singsingkan lengan baju lalu bangkit bersama-sama menciptakan suasana dan peluang yang kondusif agar bisa segera keluar dari berbagai permasalahan kita masing-masing. Kisah kebangkitan Airbus seperti dimuat dalam Fokus kali ini sangatlah inspiratif. Meski hanya dalam lingkup perusahaan, namun jika segenap komponen masyarakat bisa memiliki semangat seperti dimiliki karyawan Airbus, nsicaya secara bersama-sama Indonesia pun akan ikut bangkit.
          Bangkitlah Indonesia-ku! Terus maju dan membangun. Janganlah mengalah oleh karena satu atau seribu masalah. Buktikan kita masih memiliki semangat juang, seperti yang diserukan Bung Karno, Bung Hatta, dan para pemuda dalam pekik Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Mari kita buktikan bahwa Indonesia tak seburuk yang kita pikirkan. Dirgahayu Indonesia!

Adrianus Darmawan
adr@gramedia-majalah.com